Friday, December 08, 2006

on Perception

Here a post i wrote for about 2 months ago. Written in Indonesian, i publish this note for my friends in my workplace.

Ketika kita pertama kali bertemu dengan seseorang, sudah pasti kita mempunyai kesan pertama terhadap orang tadi. Kesan itu bisa jadi positif maupun negatif. Begitu pentingnya sebuah kesan ini sehingga setiap orang selalu mempersiapkan dirinya dengan sangat baik menghadapi pertemuan pertama. Ada beberapa hal yang bisa diamati dari fenomena ini. Pertama, sebuah pertemuan penting bisa jadi hanya akan terjadi sekali saja. Misalnya saat seorang pelamar pekerjaan memperoleh kesan buruk, ia tidak akan memperoleh kesempatan lagi untuk melakukan perbaikan. Kedua, kesan pertama sangat mungkin akan membantu kesuksesan selanjutnya.

Tetapi ada misteri besar setelah sebuah keputusan dijatuhkan: objektifkah penilaian tadi? Objektif tidaknya penilaian akan diuji pada realita yang terjadi kini. Kesan pertama bisa jadi benar bisa jadi pula salah. Ketika benar, semua pihak akan merasa bahagia. Tetapi bagaimana jika salah? Islam memberikan sebuah pernyataan tegas melalui sebuah hadis qudsi: Aku (Tuhan) adalah sebagaimana persangkaan hambaKu kepadaKu. Optimisme kita ketika berdoa adalah sebuah poin penting di hadapan Tuhan. Kalau kita saja belum bisa membangun sebuah persepsi positif, mana mungkin Tuhan akan membangun persepsi positifnya kepada kita? Masalahnya adalah bagaimana kita akan membangun sebuah persepsi positif kepada sesuatu yang membuat kita menyesal telah menjatuhkan sebuah keputusan?

Jangan pernah menyesal. Tuhan tidak menyesal telah menciptakan manusia walaupun manusia telah berbuat kerusakan di muka bumi. Kita tidak mungkin menyesal telah memiliki orangtua atau anak, karena mereka adalah sebuah hubungan yang tidak mungkin putus karena tidak dapat kita memilih menjadi anak atau orangtua siapa. Saat kekecewaan terjadi maka yang dilakukan adalah membenahi kekecewaan tadi menjadi sebuah energi positive thinking dan mengambil hikmah dari peristiwa yang telah terjadi.

Kedua, selalu menyimpan optimisme dan harapan bahwa tidak semua hal buruk akan selamanya buruk. Einstein berpendapat tentang relativitas. Segala sesuatu tidak tampak selalu tetap pada kondisinya tetapi bergantung pada cara pandang kita. Sebuah kendaraan berkecepatan 50km/jam bagi seseorang yang berada di pinggir jalan, bisa menjadi berkecepatan 200 km/jam bagi sebuah mobil berkecepatan 150 km/jam yang berpapasan dengan kendaraan tadi. Itu sebuah objek. Bagaimana dengan sesosok manusia? Hanya Tuhanlah yang memiliki kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia. Tetapi manusia juga memiliki kehendak yang sifatnya mandiri karena memang Tuhan memberikan kesempatan untuk itu. Hati adalah sebuah entitas rahasia yang isinya hanya diketahui oleh Sang Penciptanya. Karena itulah setiap orang memiliki kesempatan menata ulang masa depannya.

Ketiga, diperlukan keterbukaan. Sekalipun itu pahit, sebuah kebusukan yang diungkapkan saat kini jauh lebih baik daripada kebaikan yang disimpan dalam hati saja. Memang tidak semua orang berpikiran sama tentang hal ini, namun paling tidak sebuah masalah tidak bisa hanya disimpan saja. Keterbukaan akan menjadi sebuah kekuatan atau awal bencana tergantung bagaimana cara menyampaikan. It’s the matter of the art of living.

Kesan pertama atau first impression membawa konsekuensi yang tidak sejenak. Kesan pertama selalu bisa menjadi pedang bermata dua. Orang sukses bisa bilang, ”The Power of Impression”. Cerita-cerita di balik idol-idol-an semacam AFI, KDI, dll merupakan salah satu contoh yang membuktikan hal sederhana ini. Orang sering tidak melihat sebuah kesungguhan tetapi mengandalkan kepada sebuah luapan emosi sesaat. Hal semacam ini pula yang digugat oleh para pendidik menyoal UAN. ”Itu hanya tes sesaat, tidak bisa membuktikan apa-apa”. Toh memang benar, banyak siswa berprestasi tidak lulus sementara si curang melenggang. Sesaat atau tidak, itulah hidup. Kita bisa mati kapan saja. Jadilah selalu beriman setiap saat, karena kita tak tahu kapan mati. 70 tahun beriman tidak akan ada artinya saat kita menjumpai su’ul khotimah.

Mata pedang yang kedua adalah ironi bagi orang gagal, ”That damned impression!” Jarang orang bisa langsung menerima sebuah kegagalan saat mereka merasa telah mempersiapkan segalanya dengan matang. Apakah kita rela dinilai tidak bersungguh-sungguh tepat pada saat kita sebenarnya hendak bertekad untuk sungguh-sungguh bekerja keras? Tapi itulah kesan yang didapat orang lain. Dan sayangnya, orang lain adalah orang yang tepat untuk menilai kita. Antara self danothers jamaknya akan selalu ada perbedaan. Bagaimana perbedaan itu bisa menjadi objektif akan sangat bergantung kepada keterbukaan.

Tentang persepsi adalah tentang memandang warna-warni kehidupan fana ini. Jadi, untuk menciptakan persepsi yang seimbang: ”come out from that box, will you...!”

No comments: